"Banyak orang tentu terkejut setelah mengenal
profesi pustakawan dan berbagai kemampuan yang mereka miliki" Artikel
ini adalah bagian kedua dari tulisan Ina Liem yang terbit di Kompas KLASS, Jumat 7 Februari 2014.
Begitu
dahsyatnya revolusi digital sehingga arus informasi mengalir tak
terbendung. Menyaring dan mencari informasi di antara jutaan data
memerlukan keahlian tersendiri. Pustakawan di era digital bukan lagi
penjaga buku, melainkan lebih berperan sebagai information provider yang membantu memudahkan pengambilan keputusan secara cerdas.
Salah satu perpustakaan di University of North Texas (foto-foto: Ida Fajar Priyanto)
Jurusan ilmu perpustakaan pun dalam
perkembangannya berevolusi menjadi jurusan Information Science, sebab
informasi tidak hanya meliputi cetak, tetapi juga dalam bentuk digital
dan data visual. Jadi, Information Science memiliki cakupan yang jauh lebih luas daripada ilmu perpustakaan.
Ida Fajar Priyanto adalah mahasiswa Indonesia yang saat ini menjalani program doktoralnya di UNT di bidang Interdisciplinary Information Science. Setidaknya ada empat mata kuliah menarik yang menunjukkan penekanan pada kata “informasi” di bidang ini.
Pertama, pada mata kuliah Media Theory and Design, mahasiswa harus membuat 4 proyek. Salah satu proyek yang digarap Ida adalah “Games and Gaming Facilities in the Libraries”. Di sini Ida meneliti efektivitas dan efisiensi dari fasilitas game di perpustakaan akademis yang mulai bermunculan beberapa tahun terakhir.
Pada proyek lain, mahasiswa diminta membuat film pendek (short movie)
terkait kegiatan di kampus. Ida dan rekannya dari Taiwan membuat film
tentang pentingnya menanamkan pengetahuan hemat energi mulai dari usia
dini.
Terlihat jelas, tugas pustakawan tidak
hanya pasif mencarikan buku atau informasi saat diminta, tetapi juga
aktif mengomunikasikan informasi kepada publik melalui media yang
menarik, yaitu film. Ini tentu berbeda dengan persepsi kita tentang
tugas pustakawan selama ini yang hanya berkutat dengan buku.
Butuh kreativitas
Selain film, game bisa dijadikan sarana penyampaian informasi. Dalam proyek lain, Ida dan teman-temannya membuat game interaktif berjudul Health Choice!
Game ini dibuat untuk mengukur tingkat pengetahuan nutrisi di kalangan
mahasiswa. Di sini juga terbukti kreativitas diperlukan oleh pustakawan.
Ida Fajar Priyanto: Perkembangan Mobile Librarianship di Asia Tenggara pada konferensi
Asosiasi Perpustakaan Pergurusan Tinggi ASEAN
Mata kuliah menarik lainnya adalah Communication and Use of Information.
Mahasiswa belajar tentang perilaku para pencari informasi, yang
ternyata pada satu budaya bisa berbeda dengan budaya yang lain.
Pada mata kuliah Human-Computer Interaction, mahasiswa mengkaji perkembangan interaksi antara manusia dengan komputer, yang diawali dengan penggunaan keyboard, lalu stylus pen, diikuti layar sentuh sampai voice-generated.
Uniknya, ada kajian atas film The Bird karya Alfred Hitchcock dalam mata kuliah Communication and Information Measurement. Mereka belajar mengukur informasi yang terdapat dalam gambar bergerak, image
dan teks. Tujuannya untuk memahami cara manusia menyerap informasi yang
bukan hanya dari judul, abstrak atau sinopsis seperti yang dipelajari
ilmu perpustakaan masa prainternet .
Suasana kelas di tingkat doktoral bidang Interdisciplinary Information Science di UNT
Dengan derasnya arus hiburan massal
lewat TV, bioskop, dan internet, pustakawan mesti berusaha lebih keras
untuk menarik perhatian agar informasi berguna tetap mendapat tempat di
hati masyarakat.
Selama belajar di Amerika, Ida melihat ada beberapa mata kuliah yang belum dikembangkan di Indonesia, seperti Information Behavior, Information Measurement, Philosophy of Information, Human-Computer Interaction, Digital Curation dan masih banyak lagi. Ilmu-ilmu ini mutlak dibutuhkan di era informasi.
Mesti diakui, banyak situs web belum user friendly.
Contohnya, halaman utama situs web beberapa universitas di Indonesia
banyak memajang berita atau foto kegiatan yang mungkin hanya relevan
bagi “orang dalam”, tetapi malah miskin info program dan akademik yang
sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya calon mahasiswa. Navigasi di
dalam situs web masih menyulitkan pengunjung. Ini menunjukkan bahwa
penyebaran informasi yang efektif perlu ditangani ahli information science.
Presentasi kelas – perilaku masyarakat dalam mencari informasi juga dipengaruhi budayanya
Bandingkan dengan situs web kebanyakan
universitas negara lain. Halaman utama langsung menyajikan kategori
isinya tanpa gambar atau teks yang tidak relevan. Informasi akademik pun
bukan hanya menampilkan kurikulum tiap jurusan. Tiap mata kuliahnya
dilampiri course description, lengkap dengan daftar buku pegangan dan kriteria kelulusannya. Bahkan untuk informasi lebih lanjut, alamat e-mail untuk contact person-nya lengkap dan mudah dihubungi dari belahan bumi mana pun.
Menutup kekurangan
Saat ini, Ida masih tercatat sebagai
Sekjen Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) dan Ketua
Dewan Perpustakaan Propinsi DIY. Rencananya, sekembalinya ke Indonesia
kelak, ia ingin mengembangkan ilmu informasi dan perpustakaan di
Indonesia.
Kalau menilik besarnya kebutuhan,
Indonesia masih sangat kekurangan ahli informasi dan perpustakaan,
terutama di tingkat S2 dan S3. Saat ini, hanya ada beberapa orang yang
bergelar S3, itu pun sebagian sudah pensiun. Tak pelak, dalam berbagai event internasional, sangat sedikit orang Indonesia yang hadir. Akibatnya, representasi Indonesia hampir tidak terdengar.
Apabila kebutuhan akan keahlian ini tidak segera diisi oleh generasi muda kita, tidak mustahil setelah berlakunya AFTA (ASEAN Free Trade Area), kita akan kebanjiran tenaga ahli informasi dari manca negara. Kita percaya bahwa “information is power”. Jadi, jangan sampai “power” di negeri tercinta ini kelak jatuh ke dalam genggaman para “information manager” pendatang.
Sumber : http://jurusanku.com/perubahan-wajah-pustakawan/