Ketika penulis mendapatkan tugas sebagai Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan
Kalijaga pada tahun 2002, konsep integrasi dan interkoneksi menjadi wacana yang
aktual bagi kalangan akademisi di IAIN Sunan Kalijaga. Sebagai direktur ketika
itu, maka penulis meresponnya dengan mengubah/menambah kurikulum yang ada,
dengan menambah tiga mata kuliah yang dipandang sangat penting waktu itu, yaitu
1) metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, 2) agama, filsafat dan
sains, dan 3) isu-isu global. Mata kuliah tersebut diajarkan dengan pendekatan
intregratif dan interkonektif.
Ketiga mata kuliah ini menjadi bagian utama untuk melakukan integrasi dan
interkoneksi yang dimulai dengan menata metodologinya terlebih dahulu, dengan
menyatukan mata kuliah metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, yang
diajarkan oleh masing-masing ahli di bidangnya, dengan harapan integrasi dan
interkoneksi itu bisa dikembangkan dengan landasan metodologi yang mantap. Pada
hakikatnya konsep integrasi dan interkoneksi harus dimulai dari integrasi dan
interkoneksi metodologinya. Tanpa dasar metodologi yang kuat, maka integrasi
dan interkoneksi hanya akan menjadi hal mengawang-awang, tidak jelas dan tidak
pernah bisa membumi.
Kemudian mata kuliah agama, budaya dan sains diajarkan dengan tujuan untuk
melihat sesuatu masalah dari pendekatan lintas agama, budaya dan sains,
sehingga integrasi dan interkoneksi dengan sendirinya akan terbentuk dan
terbawa dalam melihat setiap masalah kehidupan dan kemanusiaan. Matakuliah ini sangat
penting, karena mata kuliah ini diharapkan dapat mengembangkan paradigma
integrasi dan interkoneksi melalui pembentukan tradisi akademik yang berdimensi
lintas agama, lintas budaya dan lintas sains, dan ini menjadi tuntutan menjawab
problematika kontemporer yang tidak bisa didekati hanya dengan pendekatan
tunggal keilmuan. Masalah kemiskinan, kesejahteraan dan perdamian tidak bisa
dipecahkan dengan pendekatan tunggal, baik ekonomi semata-mata, demikian juga
pendekatan tunggal sosial, politik, budaya mau pun agama.
Selanjutnya mata kuliah isu-isu global ditambahkan sebagai aktualisasi
paradigma integrasi dan interkoneksi secara praksis untuk memahami, mendalami
dan menganalisis problematika global sebagai fenomena aktual masa kini yang
sudah merupakan fenomena global, yang mau tidak mau, pendekatan integrasi dan
interkoneksi itu mutlak dipergunakan. Tanpa integrasi dan interkoneksi
keilmuan, kita tidak mungkin dapat memahami dan memecahkan masalah-masalah
global. Penulis sendiri waktu itu mengajar aspek budaya dalam sains dan agama,
bersama dengan Prof Amin Abdulah aspek agama dan Prof Choiril Anwar dari
Universitas Gadjah Mada aspek sains, dan penulis pada aspek kebudayaan.
FILSAFAT ISLAM SEBAGAI METODA
Menurut pandangan penulis, filsafat Islam mempunyai potensi aktual untuk
mengintegrasikan dan menginterkoneksikan studi-studi keislaman secara praksis.
Tanpa dasar filsafat Islam, rasanya sulit untuk dapat mengintegrasikan dan
menginterkoneksikan ilmu-ilmu keislaman. Dalam tahap ini, filsafat Islam harus diletakkan
sebagai metodologi berpikir, bukan diletakkan pada kajian tokoh-tokohnya dan
pemikirannya saja, atau hanya fokus pada tema-tema filsafat saja serta
periodisasinya.
Pada hakikatnya setiap studi keislaman, selalu mempunyai dasar filsafatnya
sendiri-sendiri. Dalam sejarah perkembangan ilmu, filsafat adalah induk dari
setiap ilmu pengetahuan. Karena itu setiap cabang ilmu sesungguhnya mempunyai
landasan filsafatnya sendiri sendiri. Ilmu hukum dengan filsafat hukumnya,
demikian juga filsafat eknonomi untuk ilmu ekonomi, fisafat politik untuk ilmu
politik, juga arsitektur dengan filsafat arsitekturnya dan seterusnya.
Filsafat Islam sebagai metoda, akan mengintegrasikan dan
menginterkoneksikan studi-studi keislaman dalam suatu world view yang
multidimensional. Dalam buku “Filsafat Islam Sunah Nabi Dalam Berpikir” penulis
menyusun cara berpikir Islam yang dikonstruk dari tradisi berpikir Nabi sendiri
dalam menjawab berbagai kasus. Dalam sejarah kenabian, terlihat bahwa para nabi
dalam menjawab suatu masalah,tidak selamanya bergantung pada wahyu. Demikina
juga yang dialami nabi Muhammad Saw., terutama dalam tradisi berpikir beliau
sebelum usia empat puluh tahun, atau sebelum beliau menerima wahyu, sedangkan
setelah usia empat puluh tahun itu berada dalam konstruksi dialektik antara
aqal dan wahyu. Alquran 62:2 dijelaskan yang artinya sebagai berikut : “Dia
(Allah) yang mengutus di antara orang-orang ummi, seorang Rasul dari kalangan
mereka, yang menjelaskan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya adalah dalam
kesesatan yang nyata”.
Dalam pandangan penulis seorang Rasul itu mengajarkan Kitab yaitu turunnya
wahyu yang diterima dari Tuhannya yang terjadi secara bertahap sesuai dengan
tahapan kehidupan. Sedangkan hikmah, bisa diartikan sebagai penjelasan dan
penjabaran yang bisa dimengerti umatnya tentang hakikat kebenaran wahyu yang
diterimanya. Dalam kenabian Muhammad Saw., ada yang menyebut hikmah sebagai al
hadits. Hikmah juga bisa diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam, suatu
kearifan yang terdapat di balik realitas, kejadian dan peristiwa. Dalam
ungkapan sehari-hari, ketika seseorang dalam kehidupannya menghadapi suatu
kejadian, peristiwa, musibah atau ujian, seringkali dikatakan untuk bisa
mengambil hikmahnya.
Karena itu, hikmah bisa diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam, suatu
kearifan yang diperoleh dari balik pemahaman terhadap realitas, suatu wisdom
yang lahir dari pemikiran seseorang yang mendalam dalam perjalanan hidupnya.
Dengan kata lain, maka hikmah sesungguhnya dapat diartikan sebagai pengetahuan
filsafat, yaitu pencapaian atas kebenaran melalui pemikiran radikal terhadap
realitas. Dalam konteks kerasulan yang tugasnya mengajarkan kitab dan hikmah,
maka pengajaran tentang hikmah ini bisa dipahami sebagai filsafat, karena
seorang rasul dalam sejarahnya juga pengajar tentang hakikat kehidupan dan
makna hidup bagi manusia, yang sebenarnya menjadi inti dari flsafat.
Alquran 2:269 dijelaskan yang artinya “ Allah anugerahkan hikmah kepada
siapa yang dikehendakiNya dan barang siapa yang medapatkannya, ia benar-benar
telah dianugerahi suatu kebaikan yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah (ulul albab) yang dapat mengerti”. Dalam konteks ini, maka seorang
nabi adalah juga seorang yang mendapat pengetahuan hikmah, yang menjadi inti
dari filsafat. Seorang nabi juga bisa disebut seorang filosuf sebagai pengajar
himah atau filsafat yaitu pengajar hakikat kebenaran segala sesuatu dalam hidup
dan menjalaninya.
Untuk mampu mengajarkan kitab yang dikembangkan dalamsuatu hikmah, maka
seorang nabi pastinya mempunyai suatu model berpikir tertentu yang
memungkinkannya menembus realitas dan menemukan hakikat kebenaran di balik
realitas atau kejadian. Model berpikir tersebut dipakai untuk memahami dan
mendalami kebenaran melalui integrasi “aql” dan “qalb”.
Dalam Alquran 22: 46 menjelaskan yang artinya “maka tidak pernahkah mereka
berjalan di muka bumi, sehingga hati mereka dapat memahami, telinga dapat
mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang ada di dalam dada”.
Selanjutnya dalam Alquran 33 : 21 dijelaskan yang artinya “sungguh pada
diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan pada hari kemudian, serta mereka banyak mengingat Allah.
Keteladanan nabi yang utama bagi penulis bukanlah pada perbuatannya, seperti
cara makan dan memelihara jenggot saja, tetapi keteladanan beliau pada
pemikirannya, karena perbuatan adalah tindak lanjut dari pemikiran, pemikiran
adalah ibu kandung perbuatan. Bahkan dalam prinsip etika, perbuatan yang tidak
disertai pemikiran adalah pemikiran yang tidak disadari, maka perbuatan itu
tidak termasuk ranah etika, seperti perbuatan orang yang kehilangan akal sehatnya
atau perbuatan orang gila.
Paradigma integratif dan interkonektif sesungguhnya dapat dimungkinkan
dengan integrasinya “aql” dan “qalb” sebagai suatu metoda berpikir untuk
memahami realitas. Pendekatan integratif adalah pendekatan ulul’albab yang
secara jelas digambarkan Alquran 3: 190-191 yang artinya sebagai berikut :
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang adalah tanda-tanda bagi ulul albab, yaitu mereka yang mengingat
(zikir/qalb) tentang Allah dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring dan
memikirkan (aql, rasio) tentang penciptaan langit dan bumi ; ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia ; Mahasuci Engkau, maka
hindarkanlah kami dari siksaan neraka.
Penjelasan Alquran di atas bisa dimengerti akan adanya proses rasional
transcendental di mana 1) mengingat (zikir pada kekuasaan Allah) mendahului 2)
berpikir untuk memahami dan mendalami semua ciptaanNya di langit dan di bumi,3)
dan mencapai proses transendensi dengan 4) kesadaran tidak akan menyia-nyiakan
semua ciptaanNya dan aktualitas perbuatan yang terhindar dari siksaan neraka.
Ini menjadi metoda berpikir integratif dan interkonektif yang berada dalam
jalan hidup seseorang untuk selalu mensyukuri dan menghindari siksaan neraka.
Karena itu, bagi penulis makna surat al fatihah yang dibaca setiap kali
oleh seorang muslim ketika menjalankan solat, terutama saat membaca Alquran 1:
6-7 yang dijelaskan artinya : “tunjukkan kami jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan mereka yang
dimurkai dan bukan pula mereka yang tersesat. Maka jalan lurus itu dapat
dimengerti sebagai metoda berpikir yang secara konsisten dan lurus, kemudian
diaktualisasikan dalam perbuatan yang memberikan manfaat bagi kehidupan
bersama, akan menjadi nikmat, bukan laknat apalagi tersesat.
Filsafat Islam sebagai metoda berpikir menjadi dasar bagi peradigma
integrative interkonektif, yang secara sistemik menyatukan antara aql, qalb,
wahyu dan realitas menjadi suatu metodologi berpikir yang bersifat rasional
transcendental, dan selalu berdimensi majemuk. Karena itu, filsafat Islam
sebagai metode berpikir seperti yang dijelaskan di atas, akan menjadi dasar
dalam merumuskan filsafat dalam studi-studi keislaman. Dalam kaitan ini, maka
seharusnya dalam setiap fakultas diajarkan filsafat Islam sesuai dengan bidang
kajiannya masing masing, seperti filsafat hukum Islam di fakultas syari’ah,
filsafat pendidikan Islam di fakultas tarbiyah, filsafat dakwah Islam di
fakultas dakwah, filsafat eknonomi Islam di fakultas ekonomi dan bisnis dan
seterusnya.
INTEGRASI DAN INTERKONEKSI SEBAGAI
METODOLOGI DALAM STUDI KEISLAMAN
Dalam sebuah forum dialog di TVRI Yogyakarta, penulis selaku rektor UIN
Sunan Kalijaga ditanya oleh seorang pemirsa, bahwa berubahnya IAIN menjadi UIN
adalah suatu pendangkalan ilmu agama. Pertanyaan mereka itu didasarkan pada
fenomena bahwa penguasaan ilmu agama pada alumni UIN lebih rendah daripada
alumni IAIN dulu. Pertanyaan itu juga pernah menjadi perdebatan yang panjang di
kalangan akademisi IAIN ketika kita akan berubah menjadi UIN.
Di samping itu, pandangan bahwa ilmu keislaman adalah ilmu agama masih
tetap kuat di kalangan masyarakat Islam sendiri, sehingga ilmu keislaman bagi
mereka adalah ilmu-ilmu agama seperti yang ada di IAIN dulu, yaitu ushuluddin,
dakwah, syariah, adab dan terbiyah. Sedangkan ilmu-ilmu di luar studi agama
adalah bukan ilmu keislaman. Dengan kata lain, mereka sebenarnya masih
berpandangan bahwa Islam adalah agama, bukan kebudayaan, sehinga sains dan
teknologi sebagai bagian dari kebudayaan, tidaklah termasuk kajian keislaman.
Karena itu, paradigm integratif dan interkonektif menjadi sangat penting
dan fundamental dalam merumuskan kajian-kajian keislaman, di mana posisi Islam
sebagai nilai-nilai yang mendasar dan mengikat setiap kajian keislaman yang ada
dalam berbagai aspek kebudayaan, baik kebudayaan sebagai sistem nilai, produk
maupun eksistensi manusia dalam perjalanan hidupnya yang kompleks.
Dalam pandangan penulis, yang paling sulit dilakukan dalam usaha melakukan
integrasi dan interkoneksi studi-studi keislaman adalah bagaimana merumuskan
metodologinya. Upaya integrasi dan interkoneksi yang banyak dilakukan sekarang
ini adalah mengintegrasikan dan menginterkoneksikan materi kajian dari studi
studi keislaman dalam kajian ilmu-ilmu umum atau sebaliknya, seperti
mengintegrasikan materi kajian kajian Islam, terutama Alquran dan Alhadits
diintegrasikan dan diinterkoneksikan dengan bidang kajian-kajian ilmu-ilmu
umum.
Konsep pohon ilmu ilmu keislaman (Prof Imam Suprayogo) serta konsep jaring
labah-labah ilmu ilmu keislaman ( Prof Amin Abdullah) menurut pandangan penulis
yang sempit ini, rasanya belum sampai merumuskan pada metodologinya. Integrasi
dan interkoneksi model ini, seringkali diimplementasikan dengan melakukan
integrasi infrastruktur fisik dan non fisik, termasuk material dan bahan ajar
dalam pengembangan keilmuan dalam suatu konsep universitas.
Dalam pandangan Islam, sebenarnya tidak mengenal dualisme pendidikan dan
dikhotomi keilmuan. Pendidikan harus dilakukan secara integratif, sehingga
keragaman ilmu bisa saling menyapa dan menyatu dalam memecahkan persoalan
kemanusiaan yang makin kompleks. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
masalah masalah kemanusiaan, seperti kesejahteraan, kemiskinan, kebahagiaan,
keamanan dan perdamaian, tidaklah bisa dipecahkan dengan pendekatan tunggal
keilmuan semata mata. Karena itu, pendekatan integratif dan interkonektif
adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan yang semakin global ini.
Jika kita akan menempatkan integrasi dan interkoneksi sebagai suatu
metodologi, maka dalam setiap jenjang pendidikan di UIN Suka baik S1, S2 maupun
S3nya, bagaimana jabaran dalam kurikulumnya. Demikian juga halnya dalam
berbagai fakultas yang ada, bagaimana integrasi dan interkoneksi sebagai
metodologi dapat diimplementasi-kan dalam berbagai fakultas, sehingga sehingga
masing-masing keilmuan yang dikembangkan oleh setiap fakultas berada dalam
ikatan metodologi yang sama, yaitu integrasi dan interkoneksi.
Semoga bermanfaat wallahu a’lamu bishshowab.
(Disampaikan dalam rangka Seminar “Praksis Paradigma Integrasi Interkoneksi
Ilmu dan Transformasi Islamic Studies”, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Convention Hall, 22-23 Oktober 2014)
Sumber : http://uin-suka.ac.id/index.php/page/kolom/detail/30/paradigma-integrasi-dan-interkoneksi-dalam-perspektif-filsafat-islam