Pustakawan..
oh.. Pustakawan..
Entahlah.. orang memandang seolah-olah engkau tiada,
padahal engkau ada. Aku juga heran mengapa mereka memiliki paradigma seperti
itu. Tapi ketika aku mengkaji ilmu yang berkaitan dengan perpustakaan, aku tahu
apa penyebabnya. Ternyata mereka menganggap orang yang bekerja di perpustakaan
itu bisa dari latar belakang apapun. Bahkan banyak juga yang hanya luusan SMA
langsung bisa menjadi seorang pustakawan. Dan yang lebih menyedihkan lagi,
banyak juga tuh pejabat-pejabat yang kinerjanya dirasa tidak berkualitas akan
ditempatkan di perpustakaan, seperti kejadian di Jakarta waktu lalu.
Seolah-olah perpustakaan itu hanya tempat buangan. Miris bukan?
Bagaimana perpustakaan mau maju? Bagaimana
perpustakaan bisa beralih menjadi perpustakaan virtual (digital)? Lha wong latar belakang pengelola
perpustakaannya saja bukan orang yang ahli dibidang perpustakaan. Jika
perpustakaan pengelolaannya sudah ngawur
bagaimana perpustakaan mau ramai dikunjungi pemustaka? Memang ada juga yang
berkunjung ke perpustakaan tapi kalau ada keperluan saja, contohnya engga jauh-jauh deh. Perpustakaan kampus
saja. Pemustaka yang datang hanya ketika mencari bahan untuk memenuhi tugas
kuliah dsb. bisa dibilang “kepepet” gitu. Ada juga yang datang karena memang
ingin membaca buku, tapi ini minoritas sekali.
Sebenaranya banyak cara yang bisa dilakukan supaya
citra pustakawan dan perpustakaan itu sendiri menjadi lebih baik. Salah satunya
dengan menulis, kenapa? Coba bayangkan saja kalau pustakawan itu bisa menulis.
Bisa jadi masyarakat akan memberi nilai lebih terhadap pustakawan. Iya tigak
ragu membaca karya-karya kita para pustakawan, karena mereka beranggapan apa yang
kita tuang dalam tulisan, kita ambil dari sumber-sumber yang terpercaya dengan
pengetahuan kita mengenai banyaknya jenis buku. Secara otomatis pula, paradigma
mereka akan berubah. Yang awalnya berpikir bahwa pustakawan itu hanya menjaga
buku beralih kepada bahwa pustakawan itu gudang ilmu. Keren bukan?
Nah, narsisnya
pustakawan itu salah satunya dengan menulis. Jadi narsisnya berkelas hehe. Sadar engga
sih? Sebenarnya Guru Besar Ilmu Perpustakaan Prof. Dr. Sulistyo Basuki
adalah seorang penulis? Kalau beliau tidak menulis mungkin kita tidak akan
mengenal sosoknya yang sangat luar biasa. Jujur, kita semua para mahasiswa Ilmu
Perpustakaan pasti mengenal beliau melelui tulisannya bukan? Yang bukunya itu
menjadi kitab wajib untuk anak Ilmu Perpustakaan hehe
Ada lagi sosok yang tak kalah luar biasa menurutku.
Yakni pak Fiqru Mafar alumni UIN Sunan Kalijaga yang sekarang menjadi Dosen di
Universitas Riau. Beliau juga memiliki banyak tulisan yang pada akhirnya dengan
tulisan-tulisannya itu beliau bisa
melanglangbuana ke Paris, Italia, Mesir dll. Subhaanallaah keren bukan? Pesan
beliau yang selalu terngiang-ngiang,”Jika kamu menulis maka siap-siap
terkenal.” Loh iya.. kalau kita
menulis dunia akan mengenal kita tapi sebelumnya kita juga harus membaca agar
kita mengenal dunia. Setuju sekali dengan perkataan pak Fiqru Mafar.
Menciptakan generasi pustakawan yang narsis tapi berkelas haruslah ditinjau
dari kesadaran setiap individual para pustakawan. Kenapa? Karena seperti yang
kita tahu, jika pemerintah tidak mencurahkan perhatiannya maka kita para
pustakawan harus bangkit sendiri dan memiliki nilai lebih supaya pemerintah
dengan sendiriya pula akan memperhatikan kita. Kita harus menjadi pustakawan
yang berbeda degan dengan kenarsisan
kita dalam dunia kepenulisan.
Ada percakapan kecil antara aku dan seorang senior
dari jurusan BKI (Bimbingan Konseling Islam). Ketika aku berpendapat bahwa
pemerintah kurang memperhatikan profesi pustakawan, salah satunya dengan
menempatkan pustakawan di lembaga tak harus dari latar belakang yang ahli
dibidang perpustakaan.
Ia berpendapat,
”mungkin pustakawan di Indonesia saja yang kurang, jadi latar belakang apapun
ditempatkan di perpustakaan. Engga jauh-jauh
contohnya di kampus kita, banyak mahasiswa jurusan lain yang bekerja part time di
perpustakaan, padahal mahasiswa Ilmu Perpustakaan juga seabrek di kampus. Jadi
kemanakah para calon-calon pustakawan yang lain? Sampai-sampai harus
menggunakan tenaga kerja yang bukan ahlinya (mungkin ^^). Tapi, apakah semua
latar belakang bisa mempengaruhi kinerja? Apa semua pekerja harus sesuai dengan
bidang yang ditempuhnya? Ada yang harus dipahami. Percayakah dengan yang
namanya “SKILL”?.” Tuturnya panjang lebar.
Wow.. aku cerna dalam-dalam pendapatnya. Ada benarnya
juga.
“Mbak, tahu engga
kenapa pustakawan sedikit di Indonesia? Salah satunya karena kurang
diperhatikannya profesi pustakawan oleh pemerintah di Indonesia. Hmm coba kita
tilik Jepang, Amerika, Kanada dll. Di negara mereka pustakawan sangat
diperhatikan bahkan melebihi profesi lain. Jika dianalisis salah satunya adalah
penyebab tingginya minat baca terhadap masyarakat mereka yang jelas terlihat
kontras sekali perbedaannya dengan keadaan masyarakat Indonesia yang masih
sangat minim sekali akan pentingnya membaca. Ini adalah tantangan untuk kami
para pustakawan. Perihal bekerja part time di kampus diambil dari semua jurusan
ada sisi positifnya masing-masing. Untuk mahasiswa non-Ilmu Perpustakaan ini
akan menjadikan pola pikir mereka berubah bahwa mengelola perpustakaan itu
butuh keahlian dan tidak mudah. Sedangkan untuk mahasiswa Ilmu Perpustakaan
dengan bekerja part time di perpustakaan
kampus akan mengasah keahlian mereka disamping menambah uang saku mereka juga
sebagai mahasiswa hehe I think it doesn’t
matter.” Jelasku secara gamblang.
Ia menimpali, “Jauh
tanpa melihat diperhatikan atau tidaknya pustakawan di Indonesia oleh
pemerintah, semangat kepustakawanan orang-orang seperti dek Rima ini yang
kurang saya rasa. Jadi, sebagai pustakawan sejati tidak harus menunggu
pemerintah, namun ia harus membangun sendiri jati dirinya sehingga pemerintah
memperhatikan dengan sendirinya pula. Coba suntik motivasi untuk pembaca san
teman-teman kamu sebagai pustakawan seajati. Agar tidak hanya menyalahkan
pemerintah, namun bangkit untuk diakui akan jauh lebih baik.”
“Nah, itu dia mbak. Salah satunya dengan menciptakan
pustakawan-pustakawan narsis, yakni
pustakawan yang lebik kreatif dan inovatif dengan menulis. Dengan begini citra
pustakawan akan naik sehingga perpustakaanpun menjadi tempat favorit yang
dijadikan tempat yang sering dikunjungi masyaraakat dari semua latar belakang.
Tidak pandang bulu gitu hehe.” Tegasku.
Mungkin ini hanya percakapan kecil, tapi ini
benar-benar membuka mataku sebagai generasi pustakawan muda. Dan kuharap juga
memberi pengaruh kepada para pustakawan muda yang lainnya. Kalau bukan kita
(para pustakawan) siapa lagi yang peduli?
“Aku Pustakawan
Narsis dengan Menulis” aku rasa slogan ini cocok dijadikan tonggak untuk
wajah baru para pustakawan di abad modern ini.
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali
kaum itu sendiri yang mengubahnya. Sudah dengan jelasnya Allah memberitahu
kepada kita, apa kita masih mencoba mengelak? Pustakawan muda sekarang saatnya
kita tunjukkan jati diri kita pada dunia. GANBATTE !!! DON’T GIVE UP !!!
Judul : Pustakawan Berbicara dengan Tulisan
Deskripsi : Pustakawan.. oh.. Pustakawan.. Entahlah.. orang memandang seolah-olah engkau tiada, padahal engkau ada. Aku juga heran mengapa ...